Signalemen bahwa Grab tengah menjajaki akuisisi GoTo senilai triliunan rupiah belum hilang dari ingatan pelaku pasar. Meski masih dalam tahap diskusi awal, kabar tersebut memicu gejolak luar biasa di pasar modal Indonesia. Salah satu dampak paling dramatis terlihat pada harga saham GoTo yang pada perdagangan terakhir anjlok secara signifikan. Berbagai analis bahkan memproyeksikan saham GoTo bisa merosot hingga level Rp100 per lembar jika kabar akuisisi terus berhembus dan ketidakpastian struktur kesepakatan belum terjawab. Penurunan harga tersebut menandai momen krusial bagi investor ritel dan institusi yang sudah menempatkan modalnya pada salah satu unicorn terbesar Tanah Air. Untuk memahami dinamika ini, penting menilik latar belakang rumor, mekanisme reaksi pasar, hingga prospek jangka panjang GoTo pasca kabar akuisisi.
Latar Belakang Rumor Akuisisi dan Reaksi Awal Pasar

Spekulasi soal akuisisi GoTo oleh Grab pertama kali muncul di kalangan analis keuangan pada kuartal pertama 2025. Kedua perusahaan—Grab sebagai superapp regional dengan fokus pada ride-hailing dan fintech, serta GoTo yang dihasilkan dari merger Gojek dan Tokopedia—dinilai saling melengkapi dari sisi lini bisnis. Kabar tersebut didukung laporan bahwa Grab tengah menyiapkan pendanaan hingga Rp108 triliun untuk transaksi. Walau belum ada pernyataan resmi dari manajemen kedua belah pihak, pasar merespon dengan cepat. Saham GoTo yang dibuka di kisaran Rp520 langsung terkoreksi signifikan, memperlihatkan volatilitas tinggi dengan volume transaksi melonjak tajam. Pelaku pasar tampak terbagi antara yang mengambil keuntungan cepat (profit taking) dan yang meredam risiko lebih lanjut dengan melepas posisi. Sentimen negatif semakin menguat ketika analis menyoroti ketidakjelasan struktur kepemilikan pasca-akuisisi serta dampak regulasi antimonopoli yang bisa menunda proses hingga berbulan-bulan.
Mekanisme Psikologi Pasar di Tengah Ketidakpastian
Di pasar modal, ketidakpastian adalah musuh terbesar. Dalam situasi seperti kabar akuisisi GoTo-Grab, investor cenderung mengantisipasi skenario terburuk—termasuk potensi dilusi nilai saham, penerbitan saham baru, dan perubahan struktur pendanaan yang bisa berdampak negatif pada laba per saham (earnings per share). Ketika memasuki fase rumor yang diperparah oleh kurangnya informasi resmi, para pemegang saham institusional biasanya meminimalkan eksposur mereka. Penjualan saham besar-besaran memicu tekanan jual berantai (sell-off), sehingga harga semakin tertekan. Di samping itu, media sosial dan forum investasi turut mempercepat penyebaran sentimen negatif, memperkuat ekspektasi bahwa harga GoTo bisa terus menurun. Dalam konteks ini, ramalan anjlok ke Rp100 bukan sekadar angka spekulatif, melainkan cerminan psikologi pasar yang amat sensitif terhadap isu korporasi berskala besar.
Faktor Penyebab Proyeksi Anjlok ke Rp100
Beberapa faktor mendasari prediksi penurunan ekstrem saham GoTo mendekati level Rp100 per lembar. Pertama, potensi penerbitan saham baru Grab untuk mendanai akuisisi dapat menyebabkan dilusi kepemilikan GoTo, yang secara matematis akan menurunkan nilai saham yang sudah beredar. Kedua, adanya obligasi konversi Grab yang memungkinkan pemegang obligasi menukarkan surat utang menjadi saham akan meningkatkan jumlah saham di pasar. Ketiga, beban utang GoTo yang besar pasca-merger Gojek-Tokopedia membuat valuasi perusahaan rentan terhadap kenaikan suku bunga dan perubahan kebijakan moneter. Keempat, risiko regulasi antimonopoli dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang bisa memblokir atau menunda transaksi berbulan-bulan juga memengaruhi sentimen investor. Kelima, ekspektasi bahwa integrasi teknologi dan kultur perusahaan Grab-GoTo akan menimbulkan biaya restrukturisasi yang tinggi membuat analis memperkirakan profitabilitas pasca-akuisisi akan menurun sementara waktu. Akumulasi faktor tersebut menimbulkan tekanan jual yang luar biasa, sehingga prediksi level Rp100 bukanlah hal mustahil jika sentimen negatif terus berlanjut.
Implikasi bagi Investor Ritel dan Institusi
Bagi investor ritel yang membeli saham GoTo pada level tinggi, prospek penurunan ke Rp100 memicu dilema sulit: menahan posisi demi recovery jangka panjang atau cut loss sekarang. Bagi institusi seperti dana pensiun dan reksa dana, akuisisi berskala besar memerlukan keputusan strategis. Beberapa institusi lebih memilih menjual sebagian portofolio untuk menjaga rasio risiko, sementara yang lain menahan posisi karena melihat potensi sinergi jangka panjang antara Grab dan GoTo. Namun, ketidakjelasan struktur kesepakatan membuat keputusan ini tak mudah. Investor institusional juga memikirkan aspek likuiditas, di mana penurunan harga signifikan bisa memengaruhi margin dan rasio leverage mereka. Dalam kondisi ini, laporan analisis risk management dan komunikasi dari manajemen GoTo menjadi sangat krusial untuk meredam gejolak pasar.
Respons Manajemen GoTo dan Strategi Mitigasi
Menanggapi gejolak, manajemen GoTo akhirnya angkat bicara dengan menjelaskan bahwa diskusi akuisisi masih bersifat non-binding dan belum ada komitmen final. Pernyataan resmi ini dimaksudkan meredam kekhawatiran investor akan skenario terburuk. Selain itu, GoTo juga menegaskan komitmen untuk mempertahankan fokus pada operasional inti e-commerce dan layanan keuangan, sambil tetap mengeksplorasi peluang sinergi. Untuk meningkatkan kepercayaan pasar, GoTo mempercepat rencana buyback saham terbatas dengan volume yang diumumkan secara rutin. Program buyback ini diharapkan dapat menstabilkan harga dan menunjukkan keyakinan manajemen pada prospek jangka panjang. GoTo juga merilis proyeksi pendapatan kuartalan yang lebih konservatif, menyesuaikan ekspektasi pertumbuhan dengan kondisi pasar saat ini. Kombinasi komunikasi terbuka, buyback, dan proyeksi realistis diharapkan cukup untuk meredam tekanan jual dan memperkecil risiko anjlok ke Rp100.
Perbandingan dengan Kasus Konsolidasi Serupa
Sejarah pasar modal menunjukkan beberapa kasus konsolidasi besar yang memicu volatilitas ekstrem. Salah satunya adalah ketika Amazon mengakuisisi Whole Foods pada 2017 dan memunculkan kekhawatiran investor tentang valuasi roi supermarket fisik. Pada saat itu, saham Whole Foods sempat turun drastis sebelum akhirnya pulih berkat integrasi sistem e-commerce Amazon. Di Asia Tenggara, penggabungan dua bank besar Indonesia pada awal dekade lalu juga sempat memicu gejolak harga saham kedua entitas sebelum stabil kembali setelah merger selesai. Dari kasus-kasus tersebut, dapat diambil pelajaran bahwa sementara berita konsolidasi besar menimbulkan ketidakpastian jangka pendek, realisasi sinergi operasional dan efisiensi biaya umumnya mendukung peningkatan nilai pasar dalam jangka menengah hingga panjang. Investor yang memiliki horizon investasi lebih dari satu tahun biasanya dapat memetik keuntungan dari rebound harga setelah periode integrasi teknis dan manajerial usai.
Prospek Jangka Panjang Pasca-Akuisisi

Jika transaksi akuisisi GoTo oleh Grab benar-benar terealisasi dan mendapatkan persetujuan regulator, prospek jangka panjang GoTo tetap menarik. Gabungan ekosistem superapp akan mencakup ride-hailing, pesan-antar makanan, e-commerce, logistik, dan layanan keuangan digital dalam satu platform terpadu. Efisiensi operasional yang dihasilkan dari integrasi logistik GrabExpress dan jaringan distribusi Tokopedia, serta kolaborasi produk fintech Grab Financial Group dan GoPay, dapat meningkatkan margin laba bersih. Selain itu, data pelanggan gabungan menciptakan peluang monetisasi melalui iklan tersegmentasi dan layanan langganan. Integrasi teknologi memungkinkan R&D terpusat untuk membangun fitur-fitur AI-driven yang memperkuat retensi pengguna. Dengan skala ekonomi yang jauh lebih besar, entitas baru memiliki kekuatan tawar lebih tinggi dengan mitra korporasi dan pemerintah daerah. Dalam jangka panjang, nilai perusahaan gabungan diproyeksikan tumbuh signifikan, melebihi estimasi valuasi saat ini.
Pergerakan saham GoTo yang diproyeksikan anjlok ke Rp100 usai kabar akuisisi mencerminkan sensitivitas pasar terhadap isu korporasi besar. Investor perlu mengkaji risiko dan peluang dengan cermat. Bagi yang memiliki horizon jangka panjang, periode penurunan harga bisa menjadi momentum untuk menambah posisi, mengingat potensi sinergi operasional dan efisiensi biaya pasca-akuisisi. Sementara itu, investor dengan profil risiko konservatif dan jangka pendek sebaiknya mempertimbangkan strategi cut loss atau rebalancing portofolio untuk mengurangi eksposur. Pemantauan pernyataan resmi manajemen, perkembangan negosiasi, dan keputusan regulator antimonopoli menjadi kunci. Bagi institusi, pembahasan nilai intrinsik GoTo pasca-merger harus memasukkan skenario konservatif dan optimis. Terakhir, komunikasi terbuka dari GoTo Finance dan buyback yang berkelanjutan dapat menjadi indikator keseriusan manajemen dalam menjaga kepercayaan pasar dan menghindari tekanan jual berlebih.